Namun, meski telah pensiun, semangat berbagi untuk sesamanya tetap melekat di dalam hatinya. Hal ini terbukti ketika ia menyumbangkan sebagian besar uang hasil lelang motornya, yakni sebesar Rp 20.000.000 kepada dua yayasan anak difabel Bakti Luhur di Malang, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
"Saya mengajar pelajaran Kimia di De Britto, mulai tahun 1970 sampai 1992. Sekarang tinggal berdua dengan istri, menikmati masa pensiun," ujar Hardjosudiro sambil tersenyum saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Senin (6/6/2016).
Salah satu kenang-kenangan mengajar di SMA Kolese John De Britto adalah sepeda motor tua Suzuki warna hijau yang dibelinya tahun 1977. Sepeda motor itulah yang selalu menyertainya selama mengajar dan memiliki nilai sejarah bagi hidupnya.
Hardjosudiro bercerita, ia awalnya membeli sepeda motor tersebut karena diminta oleh Romo pimpinan SMA Kolese John De Britto. Sebab, semua guru sudah menggunakan sepeda motor, sementara dia dan temannya yang rumahnya jauh masih mengendarai sepeda onthel.
"Saya sebelumnya naik sepeda onthel dari rumah Tirtodipuran ke De Britto, lalu Romo meminta beli motor dan dipinjami uang. Ya sudah, saya beli motor ini. Harganya saat itu Rp 300.000, bayarnya potong gaji satu bulan Rp 15.000," ucapnya.
Usai membeli sepeda motor tersebut, ia tidak pernah membeli motor yang lain. Bahkan, sampai saat ini, hanya sepeda motor itulah satu-satunya miliknya. Setelah pensiun tepatnya pada tahun 2014 lalu, Hardjosudiro "rasan-rasan" ingin menjual sepeda motor kenangannya tersebut. Sebab, pada usianya yang sudah lanjut, ia tidak mungkin bisa memperpanjang SIM C.
Terlebih lagi, pada tahun 2015 lalu, ia sakit jantung dan harus memakai alat pacu jantung. Dokter menyarankan agar pria murah senyum kelahiran Yogyakarta, 25 Februari 1936, ini tidak lagi mengendarai sepeda motor.
"Pada usia ini, saya tentu tidak bisa mendapatkan SIM. Kesehatan saya juga tidak memungkinkan. Jadi, saya niat menjual sepeda motor itu," ucapnya.
Ia pun lantas menghubungi salah satu muridnya, alumnus SMA Kolese John De Britto, Gani Sucahyo, yang saat ini menjadi dokter gigi di Kediri, Jawa Timur. Niat itu langsung disambut oleh mantan muridnya dengan melelang sepeda motor tersebut di grup alumni SMA Kolese De Britto.
"Saya cerita ke Gani Sucahyo, lalu dilelang lewat online dan laku," ujarnya.
Dari lelang itu, lanjutnya, sebenarnya harga tertinggi yang ditawarkan hanya Rp 15 juta. Namun, karena para siswa dan alumni SMA Kolese John De Britto itu ditanamkan untuk selalu membantu sesama, mereka lantas patungan. Sepeda motor tahun 1977 miliknya itu akhirnya terbeli dengan harga Rp 36,4 juta.
"Ya tidak mengira sebesar itu, tetapi memang di siswa dan alumni De Britto tertanam jiwa menolong. Dulu saat saya di rumah sakit, mereka juga patungan untuk membantu," ujarnya.
Beberapa hari lalu, Hardjosudiro di jemput oleh alumni SMA Kolese John De Britto untuk menerima uang hasil lelang. Saat itu bersama para alumni bertemu di sebuah cafe di Condongcatur.
Di pertemuan itu, Hardjosudiro juga menceritakan sejarah sepeda motor tua miliknya. Mulai dari membeli sampai dengan peristiwa tabrakan yang pernah dialaminya pada tahun 1986. Karena tabrakan dengan truk, motornya rusak, dan ia harus dirawat di RS selama beberapa hari karena luka di kakinya.
"Mereka itu alumni yang membuka usaha, jadi bertemu untuk seperti sharing bisnis. Nah, saya diajak, sekaligus menerima uang hasil lelang," ujarnya.
Uang hasil itu pun tak lantas dipakainya sendiri. Dia hanya mengambil secukupnya untuk kebutuhan hidupnya. Sejak awal, bapak satu anak ini telah berniat menyumbangkan sebagian uang hasil lelang sepeda motornya untuk membantu sesama.
"Membantu sesama yang membutuhkan itu harus karena saya sering dibantu. Kalau uang sebanyak buat saya semua, mau untuk apa? Saya sudah tua, akan lebih berguna bagi yang membutuhkan," tuturnya.
Tak tanggung-tanggung, Hardjosudiro mengambil uang hasil lelang sebesar Rp 20 juta untuk membantu Yayasan yang mengurusi anak-anak difabel, Bakti Luhur, yang berada di Malang dan Yogyakarta.
"Uang Rp 20 juta itu saya bagi dua. Sisanya saya ingin bikin sumur bor, soalnya sumur yang di dalam rumah tidak bisa lagi," bebernya.
Hardjo mengatakan, niat untuk membantu itu pun diceritakan kepada mantan murid-muridnya, dan mereka semua mendukung langkah tersebut.
Penari
Hardjo ternyata seorang penari juga. Bahkan, kakek dua cucu ini pernah menari hingga ke Belanda.
"Saya belajar menari sejak usia 15 tahun. Saya memang suka menari," ujar Hardjo sambil menurunkan foto-foto ketika ia masih aktif menari.
Selama menjadi penari, khususnya wayang uwong (wayang orang), dia sering memerankan tokoh-tokoh sentral sesuai dengan cerita yang dibawakan. Ia sering memerankan tokoh Gatotkaca sampai dengan tokoh Hanoman.
"Kelompok saya itu Siswa Amongbekso. Kalau orang biasa, nyebutnya penari keraton. Tari klasik, saya bisa; wayang orang juga bisa," ucapnya.
Karena keahliannya menarikan tari klasik dan wayang orang ini, ia sempat diundang ke Belanda untuk menari bersama rombongannya. "Belanda pernah. Jadi, kami diminta menari di sana," sebutnya.
Namun, kariernya di dunia menari harus kandas setelah ia mengalami kecelakaan pada tahun 1986. Ketika berangkat mengajar dengan mengendarai sepeda motornya, ia ditabrak truk hingga membuat kakinya patah dan harus dipasangi pen.
"Setelah tabrakan itu, saya berhenti karena tidak memungkinkan. Kaki saya dipasangi pen," pungkasnya.
Sumber : kompas.com
0 Response to "Subhanallah Sungguh Mulia Hatinya... Motor Tuanya Laku Rp 36 Juta, Pensiunan Guru Ini Sumbangkan Hasilnya"
Post a Comment